Jumat, 22 Februari 2013

Pelangi di Atas Glagahwangi



Kisah ini berlatar belakang runtuhnya kerajaan Majapahit dan awal berdirinya Demak Bintoro. Cerita berawal dari sebuah Padepokan Indrakila yang dipimpim oleh Resi Wiyasa bersama kedua putrinya, Endang Puspitasari dan Endang Kusumadewi.
Kedatangan Mpu Janardana di padepokan Indrakila menjadikan cerita ini semakin menarik, karena konflik segera dimulai dari sini. Konflik percintaan dan konflik batin lainnya. Dalam pengembaraannya, Mpu Janardana bertemu dengan Raden Patah yang baru tiba dari Palembang dan terjadilah sebuah perubahan besar dalam keyakinan Mpu Janardana.

Mpu Janardana juga terlibat dalam sebuah perang besar antara kerajaan Majapahit dan pasukan Glagahwangi. Kisah berikutnya, seperti telah dituturkan dalam SERAT BABAD TANAH JAWI, Raden Patah berhasil memenangkan peperangan tersebut. Prabu Brawijaya akhirnya "lengser keprabon" dengan diiringi beberapa pengawal pribadinya karena tidak mau terlibat perang langsung dengan putranya sendiri. Banyak korban tewas dalam peperangan ini, salah satunya adalah Endang Puspitasari (pada saat itu sudah menjadi isteri Mpu Janardana) saat berhadapan dengan adiknya sendiri endang kusuma dewi.

Setelah perang, Mpu Janardana bermaksud untuk menjemput Putut Jantaka, putranya hasil perkawinannya dengan Endang Puspitasari untuk dibawa ke Glagahwangi.
Read more...

Senin, 18 Februari 2013

Kembang Ayu Ambarwati



Kembang Ayu Ambarwati (1991-1992) juga cukup terkenal. Dalam sandiwara radio ini untuk kesekian kalinya pasangan Ferry Padli dan Elly Ermawati bermain bersama. Kembang Ayu Ambarwati berlatar belakang sejarah Mataram, namun kisah bergulir di Kerajaan Paku Banjar, sebuah kerajaan kecil yang selalu bergolak, karena rongrongan dari dalam dan dari luar. Raja Prantaladewa, raja Paku Banjar adalah seorang raja yang lemah. Dia mudah dihasut oleh orang-orang dekatnya. Dia menghukum mati beberapa orang panglimanya dengan alasan yang tidak jelas. Diantaranya adalah Panglima Wirapati Praja, ayah Rangga Wulung (Ferry Padli ) tokoh utama dalam cerita ini.

Raja Prantaladewa mempunyai dua orang puteri yang kedua-duanya berjiwa pendekar, yakni Puteri Ayu Ambarwati (Elly Ermawati) dan Puteri Wiranti (Anis Yulyatri)Keduanya mencintai Rangga Wulung, namun gagal semua.Puteri Ayu Ambawati dinikahkan dengan Kudarandana (Tato), seorang sastrawan yang juga seorang senapati Paku Banjardan Puteri Wirantidinikahkan dengan Sedahloka (Elias), jugaseorang senapati paku Banjar. Namun kedua pernikahan tersebut tidak lama. Kudarandana hilang di Telaga Warna ketika dalam menjalankan tugas. Namun diakhir kisah dia muncul sebentar dan membantu Rangga Wulung mengalahkan Ki Danur Ludira. Puteri Wiranti sama sekali tidak mencintai Sedahloka. Cintanya pada Rangga Wulung tidak goyah.

Di dalam perkemahan pasukan Bobotsari Puteri Wiranti bertemu dengan Rangga Wulung yang sedang berduka atas pernikahan Ayu Ambarwati dengan Kuda Randana.Rangga Wulung dinikahkan dengan Puteri Wiranti oleh Adipati Wiraraja,mantan atasan Sedahloka dan Panglima Samparan, panglima Bobotsari dalam keadaan mabuk. Namun Namun setelah sadar Rangga Wulung tetap menolak Puteri Wiranti. Akhirnya Puteri Wiranti bunuh diri. Rangga Wulung menyesal. Dia sadar kalau cinta puteri wiranti benar-benar cinta sejati. Dia bersumpah untuk tidak menikah lagi seumur hidupnya.Sedahloka sangat bersedih atas kematian Puteri Wiranti. Namun akhirnya dia menikah dengan Mirantika, seorang perempuan yang wajahnya mirip puteri Wiranti.Candi (Rio Sentana) adalah murid Rangga Wulung. Anak Kecil ini telah memiliki kesaktian tinggi. Dia berhasil menciptakan ilmu sendiri yang disebut Inti suling Mustika.Patih Lwungseta (M Aboed), adalah patih Paku Banjar. Dia memiliki kesaktian tinggi. Dia mempunyai ilmu kebal yang disebut ajian Alot Waja. Patih Lwungseta inilah yang banyak menghasut Raja Prantaladewa untuk menghukum para panglima yang menjadi pesaingnya, termasuk ayah Ranggawulung. Patih Lawungseta memberontak terhadap Paku Banjar. Namun pemberontakannya berhasil digagalkan. Dia Tewas setelah Tenggorokannya kemasukan Cincin Ranga Wulung.Raden Kumala (Billy Burhan) adalah anak Patih Lawungseta.

Dia sangat dendam pada Rangga Wulung. Setelah pemberontakan ayahnya gagal, Raden Kumala bersekutu dengan Keadipaten Bobot Sari dan Sakuntala untuk menyerang paku Banjar. Dia juga berguru kepada Ki Danur Ludira (Idris Afandi) seorang datuk sesat nomor satu. Dari datuk sesat ini dia mewarisi ilmu Guntur Pelebur. Namun tetap saja dia kalah oleh Rangga Wulung.Ada sebuah serial silat Mandarin yang berjudul Princess Chung Ping. Ketika disimak, ceritanya mirip dengan Kembang Ayu Ambarwati. Sangat mungkin Kembang Ayu Ambarwati terinspirasi dari serial ini.
Read more...

Senin, 11 Februari 2013

Sejarah Sunan Muria


Raden Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang. Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.

Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. ”Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak,” kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan penduduk setempat.

Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria.
Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa.

Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ”tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa”.
Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.
Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa.

Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.
Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ”moderat”, mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.
Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.

Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara.
Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ”menghanyutkan diri” dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ”Kurang lebih ada sekitar 15.000 penziarah tiap hari,” tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria.

sumber : sunatullah.com
Read more...

Senin, 04 Februari 2013

Sandiwara Radio

1.TUTUR TINULAR
2.MAHKOTA MAYANGKARA
3.BABAD TANAH LELUHUR
4.SABDA PANDITA RATU
5.MISTERI SILUMAN KEMBANG TAYUB
6.WAHYU ASTA BRATA
7.REMBULAN KHAYANGAN
8.MANTRA NAGA BUMI
9.SAUR SEPUH
10.DASA RATNA
11.MISTERI NINI PELET
12.PELANGI DIATAS GLAGAHWANGI
13.KEMBANG AYU AMBARWATI
14.PUTRI CADAR BIRU
15.TEMBANG DARAH TEMBANG CINTA
16.ANGLING DHARMA
17.MISTERI GUNUNG MERAPI
18.MISTERI MAK ROMPANG

19.SATRIA KEKASIH DEWA
20.BOROBUDUR
21.MISTERI KERIS GANDRUNG ARUM
22.BANDUNG BONDOWOSO
23.PILAR PILAR ASITAKALA
24.SUNAN KALI JAGA
25.LOWONGAN TUHAN
26.MAHABHARATA
27.PANGERAN JOYO KUSUMO
28.BADAI LAUT SELATAN
29.PENDEKAR SAPU JAGAD
30.KEMBAR MAYANG
31.SUNGGING PRABANGKARA
32.RUNTUHNYA SRIWIJAYA
33.KIDUNG KERAMAT
34.BENDE MATARAM
Read more...

Syi'ir Tanpo Waton - Gusdur

Astaghfirulloh...Robbal baroyaah....
Astaghfirulloh...Minal Khothoyah....
Robbi zithni..'ilmannafii'aa...
Wawaffiqni...'Amalaan sholikha....

Ya roshulalloh..salam mun'alaika...
Ya rofi'asyaaniwaddaarojii....
'Athfataiyajii rotal'alaami...
Ya Uuhailaljudiwalkaromi.....

Ngawiti ingsun...nglara syi'iran...
Kelawan muji pareng pengeran...
Kang paring rohmat lan kenikmatan...
Rino wengine....tanpo pitungan....

Duh bolo konco...prio wanito....
Ojo mung ngaji syare'at bloko....
Gur pinter dongeng nulis lan moco...
Tembe mburine...bakal sangsoro....

Akeh kang apal....Qur'an Haditse...
Seneng Ngafirkeh marang liyane...
Kafir e dewe Ga' di gatekke...
Yen isih kotor...ati akale...

Gampang kabujuk...Nafsu angkoro...
Ing pepaese Gebyare ndunyo....
Iri lan meri sugi e tonggo...
Mulo atine...peteng lan Nisto...

Ayo sedulur...Jo nglale ake...
Wajib e ngaji sak pranatane...
Nggo ngandelake iman Tauhid e...
Baguse sangu...mulyo matine...

Kang aran sholeh...bagus atine...
Kerono mapan sari ilmune...
Laku torekot lan ma'rifate...
Ugo hakekot...manjing rasane...

Alqur'an kodhim...wahyu minulyo...
Tanpo tinulis iso diwoco...
Iku wejangan guru waskito...
Den tancep ake ing njero dodo...

Kumantel ati...lan pikiran...
Mrasuk ing badan kabeh njeroan...
Mukjizat rosul dadi pedoman...
Minongko dalan...manjing e iman...

Kelawan Alloh...Kang maha Suci...
Kuduh rangkulan rino lan wengi...
Di tirakati di riadhoi...
Dzikir lan suluk jo nganti lali...

Urip e ayem...rumongso aman...
Dununge roso tondo yen iman...
Sabar nerimo snajan paspasan..
Kabeh tinakdir saking pengeran...

Kelawan konco...dulur lan tonggo...
Kang podo rukun ojo daksio...
Iku sunnah e rosul kang mulyo...
Nabi muhammad...panutan kito...

Ayo nglakoni...sekabeane...
Alloh kang bakal ngangkat drajate...
Senajan ashor toto dhohire...
Ananging mulyo makom drajat e...

Lamun palastro...ing pungkasane...
Ora kesasar roh lan sukmane...
Den gadang Alloh syuargo manggone...
Utuh mayite...ugo ules...

Ya roshulalloh..salam mun'alaika...
Ya rofi'asyaaniwaddaarojii....
'Athfataiyajii rotal'alaami...
Ya Uuhailaljudiwalkaromi.....
Read more...

Jumat, 01 Februari 2013

Sunan Bonang dengan Santrinya

Sebagai seorang wali, Sunan Bonang selalu mengembara untuk menyebarkan agama. Sering kali ia berjalan sendirian, menempuh hutan belantara, mendaki gunung yang tinggi, menuruni jurang yang curam dan mendatangi dusun terpencil di kaki bukit berhutan lebat.
Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa bekal nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Setelah selesai shalat Dzuhur, di tepi sebuah telaga yang bening, kedua orang guru dan murid itu beristirahat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon beringin yang rimbun.
Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya dengan lahap karena perut sudah keroncongan. Tentu saja diawali membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan.
Rupanya, karena nikmatnya, santri Sunan Bonang sampai tidak sadar di pinggir mulutnya ada beberapa butir nasi yang menempel. Ketika selesai makan butir-butir tersebut masih disitu. Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, "Hai, santri. Jorok kamu."
"Mengapa guru?" tanya santri heran.
"Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebagian dari iman."
"Apa saya jorok?"
"Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal," jawab Sunan Bonang sambil menuding dengan telunjuknya.
Maka, dengan kemalu-maluan ia segera mengusap bibirnya dan membuang nasi itu ke tanah. Tiba-tiba Sunan Bonang menghardik :
"Hai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu?"
Santri tersebut makin tidak paham. Ia pun berdalih, "Bukankah Guru mengatakan jorok kepada saya karena ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buanglah nasi itu. Apa harus saya makan?"
"Tidak, bukan kau makan. Memang ada hadits Nabi yang mengatakan beliau menganjurkan agar makanan yang tersisa di ujung-ujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud agar kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan, meskipun cuma sedikit."
"Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?"
"Tidak."
"Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?"
"Karena kamu memang bodoh."
"Maksud Guru?"
"Kau boleh membuang sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Yaitu, karena nasi tersebut tidak mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat agar bisa dimakan oleh mahluk-mahluk Allah yang lain, seperti semut,dan sebangsanya. Sebab kalau kamu tidak dengan niat begitu, berarti kamu membuat mubazir rezeki Allah, kurnia Allah. Dan orang-orang yang suka berbuat mubazir adalah saudaranya setan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke tempat sampah, berniatlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga mahluk Allah yang perlu disayangi. Meskipun mereka hukumnya najis "Mughaladzah", tidak berarti boleh disakiti atau dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya."
Sumber: 30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Arroisi.
Read more...