Sabtu, 18 September 2010

Segores Tinta 4l- Hub

Sak jroning Suko Tansah eleng lan Waspodho
Amergo....
Sak bejo-bejone Wong kang Ciloko
Iseh bejo Wong kang tansah eleng lan Waspodho
Mulo elingo nyang Welinge Wong Tuwo
Dugo- dugo di gowo
Ngati- ati ojo nganti lali
Pakerti lan Makerti kudu nyawiji dadi Siji
Yen siro Pengen dadi Manungso Sejati Tur Mukti ono ing Ngersane Gusti kang Murbo'ing Dumadi
Nyawiji ing jiwo sak rogo Sak pati hanyembah Deneng Dzat kang Sejati. Read more...

Selasa, 07 September 2010

Ramadhan dalam Pandangan Nabi

Keagungan bulan Ramadhan seringkali digambarkan dengan imajinasi yang luar biasa. Saya begitu terpukau dengan imajinasi Nabi Muhammad melukiskan keunggulan bulan Ramadhan dalam banyak hadis. Imajinasi Nabi Muhammad terasa segar, kaya, dan hidup. Sebuah hadis mendeskripsikan suasana sorga pada awal bulan Ramadhan, lengkap dengan detail alam sorga, pakaian, makanan, tempat tidur, dan pasangan bermata jelita yang disediakan bagi orang yang menjalankan ibadah puasa. Berikut hadis dimaksud (saya kutip dari sebuah kitab klasik, Durrotunnashihin):

Pada awal Ramadhan, angin berembus dari bawah singgasana Tuhan, dan daun-daun pepohonan sorga pun bergoyang, hingga terdengar desir semilir teramat merdu. Tak pernah terdengar desir semilir semerdu itu. Menyaksikan hari pertama Ramadhan itu, orang-orang bermata jelita (baca: bidadari) berdoa, “Ya Allah, pada bulan Ramadhan ini jadikanlah salah seorang di antara hambamu sebagai pasangan hidupku.”
Maka, Allah pun mengawinkan orang yang berpuasa dengan salah seorang dari orang bermata jelita itu. Bagi setiap orang bermata jelita tersedia 70 perhiasan warna-warni dan dipan dari batu mulia warna merah berhiaskan mutiara. Disiapkan pula 70 kasur dan 70 aneka makanan. Semua itu khusus untuk orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan, tanpa memperhitungkan amal kebaikannya yang lain.

Imajinasi kreatif Nabi Muhammad itu sangat indah. Adalah menarik bahwa dalam banyak hadisnya, Nabi Muhammad menggambarkan keutamaan bulan Ramadhan dengan fiksi dan imajinasi kreatif yang memukau. Dalam imajinasi kreatifnya, Nabi Muhammad seringkali melibatkan alam dan malaikat. Hal itu segera memperlihatkan pertalian antara manusia, alam, malaikat, dan Tuhan sendiri. Maka keagungan bulan Ramadhan merupakan pertalian spiritual dan kosmis keempat wujud tersebut. Kadangkala fiksi dan imajinasi kreatif Nabi Muhammad lebih lengkap menyebut detail alam dan lingkungan ketuhanan. Hal tersebut tentu menambah nuansa dan memperkuat pesan yang ingin disampaikan, misalnya hadis berikut ini:
Pada bulan Ramadhan, aras dan singgasana Tuhan berteriak, sementara malaikat berkata lirih, “Beruntunglah umat Muhammad SAW. Mereka dianugerahi kemuliaan. Matahari, bulan, bintang, burung di udara, ikan di air, dan semua makhluk ber-ruh di muka bumi –kecuali setan– berdoa memohonkan ampun untuk mereka, siang malam.” Lalu Allah berkata kepada malaikat, “Persembahkan shalat dan tasbihmu di bulan Ramadhan pada umat Muhammad SAW.”

Dan, akhir Ramadhan adalah sesuatu yang sangat menyedihkan dalam imajinasi Nabi Muhammad. Memang, selepas Ramadhan kita segera memasuki hari raya Idul Fitri. Namun Nabi Muhammad tidak melulu menggambarkannya sebagai hari kebahagiaan dan kemenangan, melainkan juga mengingatkan akan musibah yang teramat berat. Dengan datangnya hari kebahagiaan dan kemenangan itu berarti kita kehilangan sesuatu yang amat berharga. Bahkan, kata Nabi, kehilangan sesuatu yang amat berharga itu merupakan musibah. Inilah gambaran imajinatif Nabi Muhammad tentang akhir Ramadhan: Di malam terakhir bulan Ramadhan, langit, bumi, dan malaikat pada menangis karena musibah yang menimpa umat Muhammad Saw.
“Musibah apa, ya Rasulallah?” tanya sahabat.
“Kepergian bulan Ramadhan.”
Gambaran imajinatif Nabi Muhammad tentang kepergian bulan Ramadhan sebagai musibah itu menggambarkan dengan baik betapa berharganya bulan Ramadhan. Bukan saja orang-orang saleh yang merasa kehilangan dengan kepergian bulan Ramadhan, melainkan juga langit, bumi, dan malaikat. Perasaan kehilangan langit, bumi, dan malaikat atas kepergian bulan Ramadhan tampak sedemikian dalam, sehingga digambarkan bahwa langit, bumi, dan malaikat bukan saja bersedih, melainkan semuanya pada menangis.

Seluruh keutamaan bulan Ramadhan sebenarnya dipersembahkan kepada manusia. Tetapi, secara imajinatif Nabi Muhammad menggambarkan bahwa langit, bumi, dan malaikat pun turut berduka dengan kepergian bulan Ramadhan. Itu berarti, langit, bumi, dan malaikat pun turut berbahagia dengan datangnya bulan Ramadhan, meskipun seluruh keutamaannya tidak untuk mereka, melainkan untuk manusia. Dengan imajinasi tersebut, pesan hadis di atas jadi dalam: jika langit, bumi, dan malaikat saja turut berbahagia dengan datangnya bulan Ramadhan dan turut berduka dengan kepergiannya, alangkah malang manusia yang tidak berbahagia dengan datangnya bulan Ramadhan dan tidak pula berduka dengan kepergiannya.

Bagi saya, imajinasi kreatif Nabi Muhammad tersebut sungguh luar biasa: indah, hidup, memukau, dan pesannya jelas (dan hadis bagaimanapun bersifat didaktis). Apalagi kalau kita membayangkan bahwa imajinasi kreatif tersebut dikemukakan Nabi Muhammad sekitar abad ke-7 M. Bagaimanakah imajinasi kreatif Nabi Muhammad bisa sampai pada deskripsi menakjubkan seperti itu?
Sengaja di sini saya menekankan bahwa gambaran keagungan bulan Ramadhan oleh Nabi Muhammad sebagai fiksi dan imajinasi. Bukan maksud saya mengagungkan imajinasi lebih dari apa yang seharusnya. Sama sekali bukan maksud saya juga menafikan pengalaman spiritual sebagaimana berkembang terutama di dunia tasawuf, atau spekulasi intelektual seperti berkembang dalam tasawuf falsafi. Di sini imajinasi ditempatkan sebagai cara-pandang, perspektif, cara-memaknai sesuatu, sekaligus cara menyampaikan pesan.

Imajinasi adalah anugerah Tuhan yang, saya rasa, diberikan hanya dan hanya kepada manusia. Bersama rasio, imajinasi mendorong kehidupan dan kebudayaan manusia berkembang mencapai kemajuan demi kemajuan. Imajinasi membuka pintu kemungkinan yang paling jauh bahkan mustahil. Sementara, rasio menyiapkan jalan agar apa yang semula diimajinasikan sebagai mustahil kelak jadi mungkin dan nyata. Tidaklah aneh kalau Nabi Muhammad memiliki imajinasi yang demikian tinggi dan begitu kreatif. Tidaklah aneh juga kalau Nabi Muhammad berbicara dengan menggunakan imajinasi, sebab dia berbicara kepada umat yang juga mendapatkan anugerah imajinasi.
Dalam konteks ini, sebagai fiksi dan imajinasi kreatif, hadis-hadis tersebut di atas memiliki logika imajinasinya sendiri. Yang terpenting di antaranya adalah tidak berartinya kesesuaian apa yang dikemukakan dengan fakta yang dikemukakan. Maka tidaklah terlalu penting apakah langit, bumi, dan malaikat benar-benar menangis di malam terakhir bulan Ramadhan. Yang penting adalah, apakah fiksi atau imajinasi bahwa langit, bumi, dan malaikat menangis di akhir bulan Ramadhan bermakna bagi kita. Begitu juga tidaklah penting apakah singgasana Tuhan benar-benar berteriak dan malaikat berkata bahwa umat Nabi Muhammad beruntung dengan datangnya bulan Ramadhan. Yang penting adalah, apakah keindahan kisah tersebut bermakna dan menggugah perasaan kita.
Demikian juga hadis tentang angin yang berhembus dari bawah singgasana Tuhan dan berdesir di sela daunan pohon sorga pada bulan Ramadhan: sejauhmana keindahan kisah itu menggetarkan hati kita; sejauhamana pula kita merasakan pesan spiritual melalui metafor-metafornya yang fantastis?

Kita wajib mengembangkan kekuatan imajinasi sebagai anugerah Tuhan. Dengan imajinasi yang tajam dan peka, kita akan memiliki peluang lain dalam menghayati Islam, sebab dalam banyak hal Islam diuraikan dengan imajinasi seperti antara lain tampak dari hadis-hadis di atas. Bahkan Tuhan pun berfirman dalam bahasa imajinasi. Dan Dia pasti tahu: berbicara dengan bahasa imajinasi hanya mungkin dilakukan kepada makhluknya yang telah dianugerahi imajinasi, yaitu manusia.
Saya membayangkan, setiap akhir Ramadhan Nabi Muhammad menangis duka bersama langit, bumi, dan malaikat. Juga bersama orang-orang bermata jelita di sorga. Mudah-mudahan kita berada di tengah-tengah mereka semua, bersama-sama melinangkan airmata duka. Jika tidak, saya rasa Nabi Muhammad menangis bukan karena kepergian bulan Ramadhan, tapi berduka karena kita tidak berduka.
Read more...

Kamis, 02 September 2010

Imam Ibn Majah (209 H - 273 H)

Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits. Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata “Majah” dalam nama beliau adalah dengan huruf “ha” yang dibaca sukun; inilah pendapat yang shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan “ta” (majat) sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.

Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.

Pengembaraannya

Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadith dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadith, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadith kepada ulama-ulama hadith. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.

Aktivitas Periwayatannya

Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.

Sedangkan hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.

Penghargaan Para Ulama Kepadanya

Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini berkata: “Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith.”

Zahabi dalam Tazkiratul , melukiskannya sebagai seorang ahli hadith besarm mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadith kenamaan negerinya.

Ibn Kasir, ahli hadith dan kritikus hadith berkata dalam Bidayah-nya: “Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadith dan usul dan furu’.”

Karya-karyanya

Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:

• Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadith yang Pokok).

• Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.

• Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.

Sekilas Tentang Sunan Ibn Majah

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi terkenal.

Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedan jumlah hadithnya sebanyak 4.000 buah hadith.

Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam bab ini ia menguraikan hadith-hadith yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.

Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadith

Sebahagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadith Pokok” mengingat darjat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadith yang lima.

Sebahagian ulama yang lain menetapkan, bahawa kitab-kitab hadith yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadith Pokok), yaitu:

• Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.

• Shahih Muslim, karya Imam Muslim.

• Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.

• Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.

• Sunan Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.

• Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah.

Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.

Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebahagian besar ulama yang kemudian.

Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih shahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahawa Sunan Ibn Majah banyak zawa’idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta’, yang hadith-hadith itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.

Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta’ susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usul us-Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam’i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.

Nilai Hadith-hadith Sunan Ibn Majah

Sunan Ibn Majah memuat hadith-hadith shahih, hasan, dan da’if (lemah), bahkan hadith-hadith munkar dan maudhu’ meskipun dalam jumlah sedikit.

Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini kerana kitab sunan ini yang paling banyaknya hadith-hadith da’if di dalamnya.

Oleh kerana itu tidak sayugianya kita menjadikan hadith-hadith yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibn Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai keadaan hadith-hadith tersebut. Bila ternyata hadith dimaksud itu shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika tidak demikian adanya, maka hadith tersebut tidak boleh dijadikan dalil.

Sulasiyyat Ibn Majah

Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadith dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi. Hadith semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat.

Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah
Read more...

Imam Abu Dawud (202 H - 275 H)

Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadith pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini.
Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin ‘Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah dua imam hadith Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Perkembangan dan Perlawatannya

Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadith dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadith, kemudian hadith-hadith yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadith dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadith, Ahmad bin Hanbal.

Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi “Ka’bah” bagi para ilmuwan dan peminat hadith.

Guru-gurunya

Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa’nabi, Abu ‘Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja’, Abu’l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa’id.

Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Hadithnya)

Ulama-ulama yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu ‘Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa’id al-A’rabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.

Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadith yang diterima dari padanya. Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma’syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘atirah, maka ia menilainya baik.”

Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji

Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara’ dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan:

“Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki’, Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai ‘Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas’ud. Sedangkan Ibn Mas’ud sendiri menyerupai Nabi SAW dalam sifat-sifat tersebut.”

Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.

Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab:

“Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.

Pujian Para Ulama Kepadanya

Abu Dawud adalah juga merupakan “bendera Islam” dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadith dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:

“Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadith, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia.”

Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: “Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan.”

Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: “Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu.” Ia bertanya: “Keperluan apa?” “Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin,” jawab Sahal. “Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu,” tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: “Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadith dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya.” Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.

Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata: “Hadith telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud.” Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik.

Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.

Madzhab Fiqh Abu Dawud

Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu’l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya’la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi’i.

Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadith pada masa-masa awal.

Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu dan Ulama

Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata:

“Aku bersama Abu Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahawa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu Dawud menemuinya seraya berkata: “Gerangan apakah yang membawamu datang ke sini pada saat seperti ini?”

“Tiga kepentingan,” jawab Amir. “Kepentingan apa?” tanyanya.

Amir menjelaskan, “Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan; dengan demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahawa Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji.”

Abu Dawud berkata: “Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!”

“Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku,” kata Amir.

“Ya, ketiga?” Tanya Abu Dawud kembali.

Amir menerangkan: “Hendaknya tuan mengadakan majlis tersendiri untuk mengajarkan hadith kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk bersama-sama dengan orang umum.”

Abu Dawud menjawab: “Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama.”

Ibn Jabir menjelaskan: “Maka sejak itu putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majlis taklim; hanya saja di antara mereka dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar bersama-sama.”

Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus datang kepada para ulama. Dan kesamaan darjat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud tersebut.

Tanggal Wafatnya

Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.

Karya-karyanya

Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:

• Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).

• Kitab Al-Marasil.

• Kitab Al-Qadar.

• An-Nasikh wal-Mansukh.

• Fada’il al-A’mal.

• Kitab Az-Zuhd.

• Dala’il an-Nubuwah.

• Ibtida’ al-Wahyu.

• Ahbar al-Khawarij.

Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap beredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud.

Kitab Sunan Karya Abu Dawud

Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya

Karya-karya di bidang hadith, kitab-kitab Jami’ Musnad dan sebagainya disamping berisi hadith-hadith hukum, juga memuat hadith-hadith yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada’il a’mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa’iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.

Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadith-hadith shahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadith shahih, hadith hasan, hadith dha’if yang tidak terlalu lemah dan hadith yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadith-hadith yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.

Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:

“Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadith yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith shahih, semi shahih dan yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadith yang mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadith macam ini ada hadith yang tidak shahih sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadith tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadith yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur’an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadith saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadith tersebut adalah, yang ertinya:

Pertama: “Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu.”

Kedua: “Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.”

Ketiga: “Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya.”

Keempat: “Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati.”

Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Hadith pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.

Hadith kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.

Hadith ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.

Hadith keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara’, yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, kerana untuk menganggap enteng melakukan haram.

Dengan hadith ini nyatalah bahawa keempat hadith di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.

Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud

Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: “Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam.” Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.

Hadith-hadith Sunan Abu Dawud yang Dikritik

Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadith-hadith maudhu’ (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak 9 buah hadith. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis “palsu”, namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadith, seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadith-hadith yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadith yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadith-hadith yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.

Jumlah Hadith Sunan Abu Dawud

Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadith sebanyak 4.800 buah hadith. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadith. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith.

Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.

Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
Read more...

Rabu, 01 September 2010

Imam Bukhari

Amirul Mukminin fil Hadits, gelar itu didaulatkan para ulama kepada ahli hadis dari Kota Bukhara, Uzbekistan. Tak salah bila ulama besar di abad ke-9 M ini ditabalkan sebagai ‘Pemimpin Kaum Mukmin dalam Ilmu Hadis’. Betapa tidak, hampir seluruh ulama merujuk kitab kumpulan hadis sahih yang disusunnya.

Para ulama juga bersepakat, Al Jami’ as Sahih atau Sahih Al Bukhari—kumpulan hadis sahih sebagai kitab paling otentik setelah Alquran. Sahih Al Bukhari yang disusun ulama legendaris asal ‘kota lautan pengetahuan’—Bukhara—itu juga diyakini kalangan ulama Sunni sebagai literatur hadis yang paling afdol.

Sang ulama fenomenal itu mendedikasikan hidupnya untuk menyeleksi secara ketat ratusan ribu hadis yang telah dihafalnya sejak kecil. Karyanya yang sangat monumental itu bak cahaya yang telah menerangi perjalanan hidup umat Islam. Ribuan hadis sahih telah dipilihnya menjadi pedoman hidup umat Islam, sesudah Alquran.

Ulama besar dan ahli hadis nomor wahid ini memiliki nama lengkap Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Al Mughirah Ibnu Bardizbah Al Bukhari. Ia lebih dikenal dengan nama tanah kelahirannya, Bukhara. Dan, masyarakat Muslim pun biasa memanggilnya Imam Bukhari.

Pemimpin kaum Mukminin dalam ilmu hadis itu terlahir pada hari Jumat, 13 Syawal 194 H, bertepatan dengan 20 Juli 810 M. Sejak kecil, Imam Bukhari hidup dalam keprihatinan. Alkisah, ketika terlahir ke dunia, Bukhari cilik tak bisa melihat alias buta. Sang bunda tak putus dan tak tak pernah berhenti berdoa dan memohon kepada Allah SWT untuk kesembuhan penglihatan putranya.

Sang Khalik pun mengabulkan doa-doa yang selalu dipanjatkan ibu Imam Bukhari. Secara menakjubkan, ketika menginjak usia 10 tahun, penglihatan bocah yang kelak menjadi ulama terpandang itu kembali normal. Imam Bukhari sudah akrab dengan ilmu hadis sejak masih belia. Sang ayah, Ismail Ibnu Ibrahim, juga seorang ahli hadis yang terpandang.

Ismail merupakan salah seorang murid ulama terpandang, Hammad ibnu Zaid dan Imam Malik. Sang ayah tutup usia saat Imam Bukhari masih belia. Meski hidup sebagai seorang anak yatim yang serba pas-pasan, Bukhari cilik tak pernah putus asa. Ia menghabiskan waktunya untuk belajar dan belajar, tanpa merisaukan masalah keuangan.

Ilmu hadis telah membetot perhatiannya sejak kecil. Selain belajar Alquran dan pelajaran penting lainnya, ilmu hadis adalah favoritnya. Sejak penglihatannya menjadi normal, dia sudah membaca karya-karya atau kitab hadis yang ada. Bahkan, menginjak usia 16 tahun, Imam Bukhari sudah mampu menghafal karya-karya Waki dan Abdullah Ibnu Al Mubarak.

‘’Sekali saja ia membaca buku, dia sudah hafal isinya,’‘ papar Ibnu Katheer yang terkagum-kagum dengan daya ingat sang ahli hadis. Daya ingat dan kecepatannya dalam menghafal sungguh tiada dua pada zamannya. Kekuatan intelektualnya sungguh sangat memukau dan menakjubkan.

Pada usia 10 tahun, Imam Bukhari sudah mampu menghafal 70 ribu hadis. Tanpa bermaksud sombong, Imam Bukhari sempat berkata, ‘’Saya hafal seratus ribu hadis sahih dan saya juga hafal dua ratus ribu hadis yang tidak sahih.’‘ Ia tak cuma mampu menghafal ratusan ribu hadis, namun juga mampu menyebutkan sanad dari setiap hadis yang diingatnya.

‘’Dia diciptakan Allah SWT seolah-olah hanya untuk hadis,’‘ tutur Muhammad bin Abi Hatim mengutip perkataan Abu Ammar Al Husein bin Harits yang terkagum-kagum dengan daya ingat dan kecerdasan Imam Bukhari. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah menilai, Imam Bukhari sebagai manusia di muka bumi yang paling kuat ingatannya dalam menghafal hadis.

Menginjak usia 16 tahun, Imam Bukahri bersama ibu dan saudaranya pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah. Perjalanan pertamanya ke Semenanjung Arab itu dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuannya tentang ilmu hadis. Imam Bukhari pun berkelana dari satu kota pusat pengetahuan ke kota lainnya. Di setiap kota, ia berdiskusi dan bertukar informasi tentang hadis dengan para ulama.

Imam Bukhari sempat menetap di sejumlah kota pusat intelektual Muslim, seperti Basrah, Hijaz, Mesir, Kufah, dan Baghdad. Ketika tiba di kota Basrah, penguasa kota itu menyambut dan mendaulatnya untuk mengajar. Kedatangannya di Baghdad—ibu kota pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah—juga mendapat perhatian dari para ulama dan petinggi kota itu.

Sepuluh ulama hadis di kota itu pun mencoba menguji kemampuan dan daya ingatnya dalam menghafal sabda Rasulullah SAW. Para ulama itu lalu menukarkan sanad dari ratusan hadis. Dalam sebuah pertemuan, para ulama itu lalu menanyakan hadis-hadis yang telah ditukar-tukar sanad-nya itu.

Namun, Imam Bukhari mengaku tak mengenal hadis yang ditanyakan para ulama Baghdad itu. Lalu, ia membacakan hadis-hadis itu dengan sanad yang benar. Para ulama Baghdad pun terkagum-kagum dengan kecerdasan dan ketelitian sang ahli hadis. Ujian serupa juga dilakukan para ulama di berbagai kota yang disinggahinya. Dan, ujian itu berhasil dilaluinya dengan baik.

Pada usia 18 tahun, secara khusus, Imam Bukhari mencurahkan pikiran dan waktunya untuk mengumpulkan, mempelajari, menyeleksi, dan mengatur ratusan ribu hadis yang dikuasai dan dihafalnya. Demi memurnikan dan mencapai hadis-hadis yang paling otentik dan sahih, ia berkelana ke hampir seluruh dunia Islam, seperti Mesir, Suriah, Arab Saudi, serta Irak.

Dengan penuh kesabaran, ia mencari dan menemui para periwayat atau perawi hadis dan mendengar langsung dari mereka. Tak kurang dari 1.000 perawi hadis ditemuinya. Hingga kahirnya, Imam Bukahri menguasai hampir lebih dari 600 ribu hadis, baik yang sahih maupun dhaif. Perjalanan mencari dan menemukan serta membuktikan kesahihan hadis-hadis itu dilakukannya selama 16 tahun.

Ia lalu kembali ke Bukhara dan merampungkan penysunan kitab yang berisi kumpulan hadis sahih berjudul Al Jami’ Al Sahih. Kitab hadis yang menjadi rujukan para ulama itu berisi 7.275 hadis sahih. Pada usia 54 tahun, dia berkunjung ke Nishapur, sebuah kota di Asia Tengah. Di kota itu, Imam Bukhari diminta untuk mengajar hadis. Salah seorang muridnya adalah Imam Muslim yang juga terkenal dengan kitabnya Sahih Muslim.

Imam Bukhari lalu hijrah ke Khartank, sebuah kampung di dekat Bukhara. Para penduduk desa memintanya untuk tinggal di tempat itu. Imam Bukhari pun tinggal di Desa Khartank hingga tutup usia pada usia 62 tahun. Ia meninggal dunia pada tahun 256 H/ 870 M. Meski telah meninggal 13 belas abad yang lalu, namun cahaya dari Bukhara itu tak pernah padam dan terus menerangi kehidupan umat Muslim.

Karya Besar Sang Ulama

Imam Bukhari tak hanya dikenal sebagai ahli hadis. Sebagai ilmuwan yang produktif, ia juga menulis kitab tafsir, fikih, dan sejarah. Berikut ini adalah beberapa karya besar sang ulama setelah Sahih Al Bukhari.

• Tarikh Al Kabir • Khalq A’fal Ibad • Kitab Al Wahidan • Kitab Adab Al Mufrad • Kitab Adh Dhua’fa • Juz Raf Al Yadain • Juz Al Quraa Khalf Al Imam • Jami’a Al Kabir • Tafsir Al Kabir • Kitab Al Ilal • Kitab Al Manaaqib • Asami As-Sahabah

Metode Seleksi Hadis Ala Imam Bukhari

Imam Bukhari pantas disebut sebagai ilmuwan dan ulama yang profesional. Betapa tidak. Dalam meneliti, menyeleksi, serta menetapkan hadis sahih dari ratusan ribu hadis yang dihafalnya, Imam Bukhari melakukannya dengan sangat hati-hati. Untuk mendapatkan akurasi, ia melakukan perjalanan ke Negara-negara Islam dengan menemui hampir 1.000 perawi hadis. Secara sabar, ia mendengarkan para perawi itu.

‘’Saya susun kitab Al Jami `Ash Shahihini di Masjidil Haram, Makkah, dan saya tidak mencantumkan sebuah hadis pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah SWT, dan sesudah meyakini betul bahwa hadis itu benar-benar shahih,’‘ ujar Al-Finbari, salah seorang murid Imam Bukhari, mengutip pernyataan gurunya.

Di masjid bersejarah itulah, Imam Bukhari mulai menyusun buku kumpulan hadisnya yang sangat monumental. Dasar pemikiran dan bab demi bab Sahih Al-Bukahri disusunnya secara sitematis di Masjidil Haram. Sedangkan, pembukaan serta pokok-pokok bahasannya ditulisnya di Rawdah Al Jannah—sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi, Madinah.

Pengumpulan, seleksi, dan penempatan hadis sahih dalam kitab Sahih Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan modern sehingga hadis-hadisnya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mendapatkan hadis yang benar-benar otentik, secara serius Imam Bukhari meneliti dan menyelidiki para perawi-nya.

Tak cuma itu, Imam Bukhari pun melaku perbandingan hadis. Satu hadis dengan hadis lain dibandingkan. Ia lalu menguji dan mempertimbangkannya secara ilmiah untuk memutuskan mana yang paling sahih. Keontetikan hadis yang disusun Imam Bukhari sudah sangat terbukti dan teruji.

Para ulama sepakat, hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Al Jami `ash Shahih memiliki tingkat kesahihan yang paling utama. Profesionalitas yang ditunjukkan Imam Bukhari dalam melacak dan meneliti kesahihan sebuah hadis tak lepas dari bimbingan para gurunya. Beberapa ulama yang berpengaruh dalam kehidupan keilmuwan sang legendaris itu antara lain: Dhahaak Ibnu Mukhlid; Makki Ibnu Ibrahim Khadhali; Ubaidullah Ibnu Musa Abasa; Abdul Quddus Ibnu Hajjaj; dan Muhammad Ibnu Abdullah Anshari.

Profesionalitas yang ditunjukkan Imam Bukhari juga menetes pada murid-muridnya. Begitu banyak muridnya yang menjadi ahli ilmu hadis yang terkenal dan terkemuka. Mereka adalah Turmudzi, Imam Muslim, Nasa’i, Ibrahim Ibnu Ishaq Al Harawi, Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Dulabi, dan Mansur Ibnu Muhammad Bazduri
Read more...